Kata lesung setidaknya sudah dikenal sejak zaman Jawa Kuna sekitar abad IX Masehi. Dalam sebuah Kamus Jawa Kuna karya PJ Zoetmulder edisi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Darusuprapto dan Sumarti Suprayitna, serta diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, pada halaman 590 kolom 2 tertera kata lesung. Kata lesung dalam bahasa Jawa Kuna, ada tertulis di dalam naskah Kresnayana, sebuah naskah Jawa Kuna buatan sekitar abad IX Masehi.
Secara turun-temurun, masyarakat Jawa membawa konsep kata lesung dari bahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru saat ini. Ternyata pengertian atau makna kata lesung dari konsep bahasa Jawa Kuna ke Jawa Baru tidak mengalami perubahan, yakni mengacu pada alat untuk menumbuk atau merontokkan padi dari batangnya.
Kata lesung di zaman sekarang tidak hanya terekam dalam bahasa lisan, tetapi juga terekam dalam sebuah kamus Jawa yang disebut Baoesastra Djawa. Kamus karangan WJS Poerwadarminta (1939) dan diterbitkan oleh JB Wolters’ Uitgevers Maatschappij NV Groningen Batavia pada halaman 272 menyebutkan kata lesung bermakna alat untuk menumbuk padi berujud kayu dilubangi. Dalam realisasinya, bentuk lesung lebih panjang jika dibandingkan dengan lumpang.
Pada umumnya, panjang lesung sekitar 1,5-2 meter, lebar sekitar 60 cm dan tinggi sekitar 40 cm. Sepintas bentuknya seperti balok. Umumnya lesung memiliki 2 lubang. Satu lubang dibuat memancang dan pada bagian lain dibuat lubang kecil, seperti lubang membuat sumur.
Lesung biasanya dibuat dari kayu-kayu yang ada di sekitar lingkungan, seperti kayu nangka, kayu munggur, kayu jati, atau kayu jenis lainnya. Pada zaman dulu, lesung biasanya dibuat oleh penggunanya sendiri. Sangat jarang orang menjual lesung, karena bentuknya yang besar, memungkinkan orang praktis membuat sendiri. Lesung yang masih ada sekarang ini tentunya peninggalan nenek moyang. Maka dari itu, tidak diketahui dengan pasti harga sebuah lesung.
Siapa saja masyarakat Jawa yang memiliki lesung di zaman dulu? Dan bagaimana pula lesung juga bisa hadir dalam kisah Rara Jonggrang?
Ibu-Ibu sedang berlatih kesenian Gejog Lesung
Lesung sebagai alat dapur dan pertanian yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan petani, sudah sewajarnya jika alat ini hadir dalam berbagai cerita rakyat maupun legenda. di Jawa Tengah, seperti pada edisi lalu, dikisahkan terjadinya Rawa Pening dengan menghadirkan tokoh seorang nenek yang menaiki lesung, maka di Jawa Tengah bagian selatan, termasuk di DIY, dikenal sebuah kisah legenda Rara Jonggrang.
Pada kisah legenda Rara Jonggrang, juga hadir alat lesung yang dipukul-pukul oleh para ibu-ibu petani untuk mengganggu kerja Bandung Bandawasa yang hendak membangun candi dengan 1.000 arca, sebagai syarat untuk meminang Rara Jonggrang. Lesung yang dipukul itu untuk mengelabuhi Bandung Bandawasa, seolah-olah hari telah fajar.
Itu semua sebagai siasat dari Rara Jonggrang agar Bandung Bandawasa tidak bisa meneruskan membuat candi dalam semalam, yang diakhiri dengan fajar menyingsing. Karena konsentrasi Bandung Bandawasa terganggu, akhirnya ia gagal menyelesaikan pembuatan candi, dan Rara Jonggrang tidak jadi dipersunting oleh Bandung Bandawasa.
Namun Bandung Bandawasa mengetahui siasat licik Rara Jonggrang, dan akhirnya Rara Jonggrang dikutuk menjadi arca untuk menggenapi 999 arca lainnya hingga menjadi 1.000 arca. Itulah sepintas legenda Rara Jonggrang yang menghadirkan lesung dalam kisahnya.
Lesung adalah kisah masa lalu. Kejayaannya sudah pudar dan sekarang sudah digantikan dengan mesin penggiling padi. Namun begitu lesung masih bisa dijumpai di museum-museum etnografi masyarakat Jawa maupun dalam kesenian tradisional gejog lesung. Apabila masyarakat petani masih ada yang memiliki lesung, biasanya sudah tidak digunakan lagi, dan hanya teronggok di pojok rumah atau pekarangan.
Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2
No comments: