PESONA WISATA INDONESIA

welcome to our blog



in a way, articles can also be described as a type of adjectives as they also tell us something about the nouns, like adjectives.

Articles are found in many Indo-European, Semitic, and Polynesian languages but formally are absent from some large languages of the world, such as Indonesian, Japanese, Hindi and Russian.

Posts

Comments

The Team

Blog Journalist

Connect With Us

Join To Connect With Us

Portfolio

  • Sothil atau susruk tradisional, koleksi Museum Tembi Rumah Budaya

    Sothil sendiri dalam proses menggoreng berfungsi untuk membolak-balik lauk yang digoreng agak matangnya merata dan tentu saja agar tidak gosong. Selain itu, alat ini juga sekaligus berfungsi untuk mengangkat lauk yang sudah matang dari wajan.

    Sothil adalah alat dapur yang dipakai untuk menggoreng. Alat ini biasanya digunakan satu set dengan alat lain yakni wajan dan erok-erok untuk menggoreng. Ketiganya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Sothil sendiri dalam proses menggoreng berfungsi untuk membolak-balik lauk yang digoreng agak matangnya merata dan tentu saja agar tidak gosong. Selain itu, alat ini juga sekaligus berfungsi untuk mengangkat lauk yang sudah matang dari wajan, kemudian ditaruh ke dalam erok-erok agar minyaknya tiris. Sothil juga disebut dengan susruk atau susuk.

    Bahan sothil beraneka ragam. Bisa terbuat dari aluminium, seng, maupun lempengan besi. Ada yang dipadukan dengan bahan lain, seperti kayu dan bambu. Umumnya sothil tradisional berbahan sederhana seperti itu.

    Sothil pada bagian ujung berbentuk pipih segitiga atau persegi empat berukuran sekitar 5 cm x 7 cm (sesuai dengan besar kecilnya sothil), kemudian pada bagian pangkal (tempat pegangan) berbentuk silinder, dengan diameter sekitar 1-2 cm dan panjang sekitar 30 cm. Demikian pula pada sothil yang berbahan gabungan antara seng atau aluminium dengan kayu atau bambu, biasanya juga terdiri dari bagian pipih dan silinder. Bagian pipih terbuat dari seng atau aluminium, sementara bagian pegangan yang berbentuk silinder bisa terbuat dari kayu atau bambu. Anak sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan spatula, seperti yang digunakan tokoh Spongebob.

    Sothil dan Erok-Erok

    Saat ini banyak pula dijumpai sothil yang terbuat dari kayu, hampir mirip dengan solet. Pembuatannya sangat rapi dan halus karena biasanya diproses dengan mesin bubut. Sothil yang terbuat dari kayu ini biasanya berasal dari kayu-kayu yang kuat atau ringan, seperti glugu (batang kelapa), sengon dan mahoni. Hanya saja sothil kayu bagian ujung maupun pangkal (pegangan) semuanya terbuat dari kayu, mirip dengan enthong.

    Sothil dengan bahan yang sederhana dan dibuat secara tradisional telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat Jawa, terutama para ibu yang bekerja di dapur. Tentu masyarakat lain di Nusantara ini juga mengenal alat serupa walaupun dengan nama yang lain. Masyarakat Jawa sudah lama mengenal istilah sothil, setidaknya nama ini sudah terekam dalam Kamus “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta tahun 1939 halaman 580 yang diterbitkan oleh NV Groningen di Batavia (Jakarta).

    Dalam perkembangannya, alat semacam ini masih terus dipakai oleh masyarakat Jawa walaupun mengalami perubahan bahan yang sangat drastis. Di masa sekarang, sothil terbuat dari berbagai logam yang berkualitas bagus, di antaranya terbuat dari stenlis. Selain itu bentuknya semakin beragam dan berkualitas bagus. Yang berkualitas bagus, harganya lebih dari Rp 25.000.

    Alat dapur sothil yang sederhana dan tradisional masih banyak dijumpai di pasar-pasar maupun warung-warung tradisional. Banyak pula swalayan menyediakan sothil yang murah mulai dari Rp 7.500. Sothil akan terus bertahan selama masyarakat masih menggoreng lauk sebagai bagian menu makan.

    Sumber: Tembi
  •   Aneka kendhi koleksi Museum Tembi Rumah Budaya Yogyakarta

    Zaman dulu hampir di setiap rumah tentu tersedia kendhi. Namun sekarang, alat ini sudah banyak tergantikan oleh barang-barang yang terbuat dari logam, porselin, plastik, kaca, dan sejenisnya.

    Alat dapur yang terbuat dari gerabah (tanah liat) ini dikhususkan sebagai tempat minum siap saji. Kendhi ini biasa diisi dengan air mentah atau air matang. Dulu kala, air dalam kendhi yang siap diminum tidak harus dimasak dulu. Sebab air minum mentah zaman dulu belum begitu banyak tercemar oleh bakteri.

    Berbeda sekali dengan air mentah sekarang yang sudah banyak tercemar, sehingga harus dimasak dulu sebelum diminum. Selain itu juga bisa dipengaruhi oleh ketahanan fisik seseorang. Orang zaman dulu sebagai pekerja keras lebih tahan terhadap air minum mentah dari pada orang zaman sekarang.

    Zaman dulu hampir di setiap rumah tentu tersedia kendhi. Namun sekarang, alat ini sudah banyak tergantikan oleh barang-barang yang terbuat dari logam, porselin, plastik, kaca, dan sejenisnya, berupa teko, porong, ceret, dan lain sebagainya.

    Walaupun bentuk derivasi kendhi sudah beraneka ragam, kendhi hingga saat ini masih tetap eksis. Tentu saja keberadaannya sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan zaman dulu, ketika kendhi masih berjaya. Masyarakat Jawa, sebagai salah satu pengguna kendhi, sebagian masih menggunakan kendhi untuk menyimpan air siap saji.

    Untuk mendapatkan kendhi kita masih bisa membelinya di pasar-pasar tradisional maupun di sentra-sentra kerajinan gerabah. Memang saat ini kendhi-kendhi itu sudah banyak mengalami modifikasi dan finishing-nya lebih bagus. Namun, fungsinya tetap sama sebagai tempat air minum.

    Jauh sebelum kemerdekaan, kendhi sudah banyak dikenal oleh masyarakat Jawa. Masyarakat suku lain tentu juga sudah mengenalnya, walaupun namanya mungkin berbeda. Sebuah data otentik dari kamus Jawa “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta (1939) sudah merekamnya.

    Pada halaman 208 kamus itu diterangkan bahwa kendhi adalah tempat menyimpan air (minum) yang terbuat dari gerabah (tanah liat), memiliki “cucuk” (mulut) dan “gulu” (leher). Mulut untuk menuangkan air ke gelas, berada di samping. Sementara gulu (berada di atas) tempat menuangkan air ke dalam kendhi dan berfungsi sebagai pegangan saat air dituangkan ke gelas, cangkir atau langsung ke mulut.

    Bentuk kendhi memang unik. Bagian tubuh lebih besar dibandingkan dengan bagian leher. Bagian tubuh bawah (alas) agak kecil dibandingkan bagian tengah. Selain itu, alasnya berujud datar, agar mudah diletakkan di meja atau lantai. Sementara bagian leher agak panjang, cukup untuk pegangan tangan.

    Kendhi untuk upacara peluncuran bus agar selamat

    Biasanya bagian atas leher kendhi ada tutupnya, yang juga terbuat dari gerabah. Fungsinya agar kotoran tidak mudah ke dalam kendhi. Bagian mulut untuk mengalir air keluar berbentuk silinder kecil agak panjang. Agar tidak kemasukan debu, biasanya juga diberi tutup, terbuat dari daun pisang yang digulung.

    Bentuk kendhi ini hampir mirip dengan poci, hanya tanpa pegangan di samping (lihat gambar). Ukuran kendhi yang standar berdiameter 21 cm dan tinggi 30 cm.

    Ada kebiasaan unik di masyarakat Jawa dulu dalam penggunaan kendhi. Setiap rumah pada zaman dulu, khususnya yang berada di pinggir jalan, umumnya menyediakan kendhi yang diletakkan di pagar halaman depan rumah.

    Fungsi kendhi tersebut untuk menyediakan air minum bagi para musafir atau orang yang lewat. Zaman dulu praktis tidak ada warung yang berjualan minuman. Jadi keberadaan kendhi di depan rumah itu sebagai bentuk solidaritas atau wujud dari beramal jariyah. Walaupun hanya berupa air kendhi, tetapi rasa “peduli” terhadap sesama itulah yang penting. Sayang sekali, zaman sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, ketika semuanya sudah dihargai dengan uang. Semuanya harus beli. Budaya “sepi ing pamrih” sudah luntur.

    Zaman dulu, ketika belum banyak muncul dispenser, kulkas, dan es batu, air kendhi banyak diminati, karena rasanya lebih dingin jika dibandingkan dengan air yang disimpan di teko dan sejenisnya. Apalagi sebelumnya air kendhi semalaman “diembun-embunkan” di luar rumah, akan terasa menyegarkan badan.

    Selain berfungsi sebagai tempat air minum, umumnya kendhi juga dipakai untuk simbol pelengkap rangkaian upacara, seperti pernikahan dan kematian. Pada upacara pernikahan, kendhi hadir dalam rangkaian sesajen upacara pasang tarub. Demikian pula pada upacara kematian, kendhi dihadirkan sebagai salah satu alat yang ikut diarak hingga pemakaman.

    Air kendhi dituang ke pusara orang yang baru saja meninggal, yang dimaksudkan untuk menyejukkan arwahnya. Bahkan hingga sekarang, masih banyak masyarakat Jawa yang melakukannya saat ada upacara kematian.

    Perkembangan selanjutnya, saat ini kendhi juga sering hadir saat ada peresmian atau peristiwa penting. Misalkan, saat launching atau peluncuran bus baru untuk kegiatan sosial. Agar penggunaan bus tersebut selamat, bus tersebut disiram dengan air kendhi. Kendhi juga kadang hadir sebagai salah satu peralatan yang digunakan dalam kesenian tradisional, misalnya kethoprak. Ketika ada adegan di dapur atau ruang tamu, kendhi juga ada di tempat itu.

    Sayangnya, alat satu ini, seperti alat lain yang terbuat dari gerabah, sekali pecah sudah tidak bisa digunakan lagi, kecuali dibuang. Untuk itu, penggunaan kendhi memang harus ekstra hati-hati, baik dalam penggunaan, perawatan, maupun penyimpanan. Sebelum digunakan, sebaiknya kendhi dicuci dengan air hangat, supaya tidak berbau tanah. Setelah digunakan, kendhi juga harus dibersihkan secara berkala. Cara membersihkan dengan dicuci menggunakan air panas agar kerak-kerak di dalam kendhi terkelupas dan ikut keluar.

    Apabila Anda tertarik menggunakan kendhi, bisa membeli di pasar atau warung tradisional, juga di tempat-tempat wisata. Yang jelas, menggunakan kendhi akan terlihat lebih alami dan natural.

    Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2
  •  
    Kuwali baru yang dipamerkan di Museum Tembi Rumah Budaya

    Pengguna kuwali hanya tinggal para pedagang makanan, seperti soto dengan label soto kuwali, pedagang gudheg, bubur, dan lainnya. Sementara warga pedesaan yang menggunakan alat ini tinggal sebatas di kala ada keperluan hajatan saja.

    Kuwali, kwali atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga, adalah sebuah alat masak yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa tempo dulu. Namun sekarang, keberadaan alat ini telah diganti oleh peralatan yang lebih modern, seperti panci, dandang, magiccom, ricecooker, dan sejenisnya. Tentu saja peralihan barang ini karena modernisasi dan akibat perkembangan zaman.

    Kuwali setidaknya masih banyak digunakan oleh masyarakat Jawa sebelum kemerdekaan RI hingga di tahun 1970-an. Bahkan, istilah ini telah terekam dalam kamus Jawa “Boesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta tahun 1939. Hal itu membuktikan bahwa barang ini jamak digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya, kala itu, sebagai peralatan untuk memasak sayur atau air, seperti yang tertera pada halaman 240.

    Memang sampai saat ini juga masih dijumpai masyarakat yang menggunakan kuwali sebagai peralatan dapur, namun sudah sangat jarang. Biasanya pengguna kuwali hanya tinggal para pedagang makanan, seperti soto dengan label soto kuwali, pedagang gudheg, bubur, dan lainnya. Sementara warga pedesaan yang menggunakan alat ini tinggal sebatas di kala ada keperluan hajatan saja. Beberapa warga generasi tua yang masih memiliki alat ini, ketika Tembi survei, tidak dipakai lagi untuk keperluan memasak, melainkan hanya sebagai alat cadangan jika sewaktu-waktu ada keperluan yang membutuhkan masakan dalam jumlah besar.

    Banyak alasan pedagang sekarang masih menggunakan kuwali sebagai salah satu alat untuk memasak, mulai dari menjaga cita rasa yang mendekati alami, lebih higienis, maupun ingin menghadirkan kembali peralatan tempo dulu. Mereka yakin, dengan alat tradisional yang terbuat dari tanah liat atau gerabah ini, akan memunculkan rasa yang lebih nikmat, karena bahannya terbuat dari bahan alami, tidak terbuat dari logam.

    Sayangnya, dengan kemajuan zaman, pembuat gerabah, yang disebut kundhi, jumlahnya semakin susut. Pembuat gerabah banyak yang beralih ke profesi lain. Sebab alat-alat dapur tradisional, seperti kuwali dan sejenisnya sudah terdesak dan kalah bersaing dengan peralatan dapur yang lebih modern, yang terbuat dari logam aluminium, kuningan, dan sejenisnya.

     
    Kuwali milik warga yang sudah tidak digunakan lagi, dan kuwali baru dengan tutupnya

    Memang masih ada sentra pembuatan kuwali dan barang gerabah lainnya yang tersisa, 2 di antaranya yang bisa disebut adalah di daerah Kasongan dan Pundong, Bantul, DIY. Di sentra-sentra tersebut, selain masih memproduksi alat dapur tradisional juga sudah memproduksi gerabah yang penggarapan dan hasilnya lebih modern. Sementara pemasaran kuwali juga semakin terbatas, tinggal di pasar-pasar maupun warung-warung tradisional. Satu dua masih dijumpai pedagang sekaligus produsen yang berkeliling menjajakan alat ini.

    Lembaga formal sebagai benteng terakhir yang menjaga barang bernama kuwali ini adalah museum. Di tempat ini, kuwali termasuk salah satu koleksi yang perlu dilestarikan karena termasuk salah satu produk hasil karya buatan manusia, khususnya masyarakat Jawa. Tentu saja museum yang menyimpan koleksi kuwali adalah museum-museum yang menyimpan koleksi benda etnografi Jawa. Beberapa museum di Yogyakarta yang menyimpan koleksi kuwali, antara lain Museum Negeri Sonobudoyo, Museum Tani Jawa Indonesia, dan Tembi Rumah Budaya.

    Kuwali yang terbuat dari tanah liat ini mudah pecah. Untuk itu, pemakai harus sangat berhati-hati, baik saat menggunakannya untuk memasak, membersihkannya, maupun dalam menyimpannya. Sebab sekali pecah atau retak, maka sudah tidak bisa dipakai dan harus dibuang. Ditambal pun juga tidak bisa.

    Kuwali yang terbuat dari tanah liat ini mudah pecah. Untuk itu, pemakai harus sangat berhati-hati, baik saat menggunakannya untuk memasak, membersihkannya, maupun dalam menyimpannya. Sebab sekali pecah atau retak, maka sudah tidak bisa dipakai dan harus dibuang. Ditambal pun juga tidak bisa.

     
    Kuwali baru ukuran sedang

    Eksistensi Kuwali atau belanga yang terbuat dari lempung atau tanah liat memang semakin terdesak oleh peralatan sejenis yang terbuat dari logam, seperti tembaga, aluminium, dan sebagainya. Namun, hingga sekarang masih tetap ada masyarakat Jawa yang memanfaatkan kuwali untuk memasak, terutama dalam skala besar atau untuk berjualan sayur dan makanan. Alasan utama, seperti yang telah dikatakan pada edisi sebelumnya, mereka memilih kuwali untuk memasak berkaitan dengan cita rasa. Mengapa demikian?

    Bagian atas kuwali mempunyai bibir dengan lubang besar, bagian bawah cembung, serta lebih tebal dibandingkan dengan alat serupa yang terbuat dari logam. Karena tebal, maka cara memasaknya pun cenderung menggunakan kayu bakar, arang, dan sejenisnya, agar lebih irit pula. Walaupun akibatnya berdampak kotor terhadap alas kuwali. Bahan-bahan alami itu tidak menimbulkan efek terhadap hasil olahan.

    Bagi penjual makanan olahan yang telah terbiasa memakai kuwali dan kayu bakar untuk memasak, mereka akan mempertahankannya agar cita rasa makanan olahan yang dihasilkan tetap terjaga. Supaya pelanggannya tidak kecewa. Sebab, seringkali, ketika penjual menggantinya dengan alat memasak lain (walaupun dengan resep yang sama), pelanggan merasakan perubahan cita rasa makanan. Beberapa penjual gudheg di Yogyakarta, terutama generasi tua, biasanya masih menjaga cita rasa itu dengan menggunakan kuwali untuk memasak gudhegnya. Tentu juga di berbagai daerah lain di Jawa, masih dijumpai hal serupa.

    Memang, harga kuwali (dengan produksi dan bentuk tradisional) lebih murah jika dibandingkan dengan alat masak sejenis yang terbuat dari logam. Harganya bervariasi, sekitar Rp 5.000-Rp 20.000 tergantung ukuran. Ada yang berdiameter 26 cm dan tinggi 17 cm, dan ada pula yang berukuran lebih kecil atau lebih besar.

    Kundi atau pembuat gerabah (termasuk kuwali) pun mengalami susut jumlah sejalan dengan kian langkanya pengguna kuwali. Profesi ini sudah ada lama, setidaknya sebelum zaman kerajaan Majapahit. Buktinya, banyak ditemukan artefak berupa wadah-wadah serupa yang merupakan peninggalan zaman kerajaan Majapahit.

    Pembuatan kuwali melalui beberapa proses, mulai dari pengambilan bahan baku, pembentukan, penjemuran, pembakaran, hingga pendinginan. Setelah itu baru dipasarkan ke berbagai tempat, seperti pasar tradisional dan warung-warung sederhana. Supaya hasil masakan tidak berbau tanah atau kuwali tidak mudah pecah, maka ada berbagai trik untuk menghilangkan bau tanah pada kuwali baru. Ada yang mengolesi kuwali baru dengan air tajin (sisa air menanak nasi). Setelah itu dipanaskan hingga mengerak atau gosong. Lalu didiamkan sebentar. Kemudian direndam sehari. Baru kemudian dibersihkan dengan sabut kelapa hingga bersih. Baru bisa digunakan untuk memasak.

    Ada juga yang menggunakan cara mencampurkan air dan bekatul dalam kuwali baru sebelum dipakai. Kemudian dipanaskan hingga bekatulnya mendidih dan meluap-luap. Setelah itu baru dibersihkan dan kuwali siap dipakai. Cara lainnya adalah mencampur air dengan parutan kelapa, lalu dimasak hingga mendidih. Kemudian dibersihkan. Cara lain lagi yaitu hanya mendidihkan air pada kuwali baru, setelah itu baru dipakai untuk memasak.

    Sementara cara membersihkan kuwali biasanya dengan menggunakan kawul (sisa kayu yang diserut) dicampur dengan air, lalu digosok dengan daun jati atau plastik bekas, kemudian dibilas. Cara-cara itu dilakukan oleh warga masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah di Bantul DIY, seperti Imogiri dan Parangtritis.

    Perawatan kuwali setelah dipakai juga biasanya ditempatkan di rak bagian bawah yang terbuat dari kayu atau bambu. Rak tersebut dalam bahasa Jawa disebut dengan paga. Cara meletakkannya pun harus tengkurap, karena alas kuwali berbentuk cembung. Selain itu, agar mudah mengambilnya.

    Mau merasakan masakan tradisional bercita rasa tinggi dengan alat memasak kuwali? Datanglah ke Yogyakarta!

    Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2

  • Dandang umumnya terbuat dari bahan tembaga. Masyarakat Jawa mengenal profesi orang yang khusus membuat dandang dari tembaga ini dengan sebutan “sayang”.

    Alat dapur ini lebih banyak digunakan untuk menanak nasi dalam jumlah banyak. Maka alat ini lebih khusus untuk “adang” atau menanak nasi. Dalam kamus “Baoesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta (1939) halaman 64, dikatakan dandang seperti kendhil besar, yang bagian atas berlubang besar, ada bibirnya, dan digunakan untuk adang nasi. Memang kadang juga untuk memasak air dalam skala banyak, namun kurang begitu lazim. Selain untuk menanak nasi alat ini, dapat pula untuk menanak makanan lain, seperti ketela (singkong) rambat, ketela pohon, atau sejenisnya.

    Dandang umumnya terbuat dari bahan tembaga. Masyarakat Jawa mengenal profesi orang yang khusus membuat dandang dari tembaga ini dengan sebutan “sayang”. Dalam kamus tersebut, halaman 539, dijelaskan bahwa “sayang” adalah tukang yang membuat barang dari tembaga, salah satunya adalah dandang. Dalam perkembangannya, ada pula dandang yang terbuat dari aluminium, yang disebut soblok. Sebagai alat masak tradisional yang sudah sangat jarang dipakai oleh masyarakat Jawa dewasa ini, penggunaan dandang untuk memanak nasi harus dilengkapi dengan alat lain, seperti kukusan, kekeb, dan panyanton. Dengan perlengkapan itulah, dandang baru dapat difungsikan maksimal untuk menanak nasi.

    Pada zaman dahulu, dandang biasa dipakai untuk menanak nasi dalam skala besar, terutama untuk orang-orang yang sedang mempunyai hajatan, seperti pernikahan, kematian, kitanan, syukuran, dan lainnya. Sekarang, dandang termasuk barang langka. Memang masih ada yang menjual dan memakainya, namun boleh dikatakan sudah sangat jarang. Orang sekarang lebih banyak menggunakan dandang atau soblok yang terbuat dari aluminium daripada terbuat dari tembaga.

    Sebenarnya, dandang dari tembaga lebih awet dan tidak mudah bocor, karena dandang dari tembaga lebih tebal daripada yang terbuat dari aluminium. Maka tidak heran, harga dandang tembaga lebih mahal jika dibandingkan dengan dandang aluminium. Karena harganya yang lebih mahal itulah, maka masyarakat sekarang berpindah ke peralatan serupa yang lebih murah. Selain itu tentu juga dipengaruhi oleh perubahan tungku yang dipakai pula.

    Apakah beda, bentuk dandang tembaga dengan dandang aluminium? Jelas ada perbedaan. Untuk lebih detail, akan diulas edisi berikutnya.

    Pada dekade 1970-an, dandang tembaga juga banyak menghiasi pegadaian. Hal ini sangat wajar, karena dandang tembaga termasuk alat dapur yang bernilai jual tinggi.

    Pada umumnya, dandang tembaga mempunyai tinggi sekitar 60 cm atau lebih. Kadang-kadang ada yang dibuat ukuran lebih kecil sedikit. Bentuk dandang tembaga biasanya berbeda dengan bentuk dandang aluminium (atau sering disebut soblok). Pada dandang tembaga, bagian bawah lebar, bagian tengah mengecil, dan bagian atas melebar lagi. Sementara bagian pantatnya berbentuk cembung. Untuk dandang aluminium, umumnya bagian bawah hingga atas sama. Hanya bagian tengah diberi lekukan melingkar tempat angsang. Pada bagian pantat dandang aluminium biasanya datar. Ukuran dandang aluminium terdiri kecil, sedang, dan besar.

    Perbedaan bentuk ini disebabkan salah satunya adalah tungku yang digunakan untuk memasak. Pada umumnya dandang tembaga diletakkan pada tungku dhingkel atau luweng. Sementara dandang aluminium, selain bisa menggunakan tungku tersebut, juga bisa menggunakan jenis tungku lainnya, misalnya kompor minyak tanah, anglo, atau keren.

    Untuk dapat dipakai untuk menanak nasi, dandang tembaga biasanya dilengkapi dengan alat lain, seperti penyaton, kukusan, solet, dan kekeb. Kukusan berbentuk kerucut, yang diletakkan di dalam dandang dengan pucuk di bawah. Kemudian penyaton diletakkan di dalam kukusan di bagian pucuk. Fungsinya agar nasi di bagian bawah yang ditanah tidak kena air secara langsung.

    Penyaton dibuat dari separuh tempurung kelapa yang sudah diberi lubang kecil-kecil. Sementara fungsi solet untuk mengaduk nasi yang ditanak, agar masaknya merata. Solet bisa terbuat dari dari bambu atau kayu. Bentuknya seperti entong, hanya ukurannya agak panjang. Sementara kekeb berfungsi untuk menutup kukusan, agar nasi cepat matang dan untuk menghindarkan dari kotoran. Kekeb biasanya juga terbuat dari anyaman bambu, seperti halnya kukusan.

    Sementara dandang soblok aluminium yang bentuknya seperti silinder hanya dilengkapi dengan angsang dan tutup. Keduanya terbuat dari bahan yang sama, yakni aluminium. Angsang berfungsi seperti kukusan, yakni agar air yang mendidih tidak langsung mengenai nasi yang ditanak. Jadi angsang juga berfungsi sebagai penahan nasi yang sedang ditanak. Angsang juga dibuat berlubang kecil-kecil sangat banyak hampir memenuhi semua sisi angsang. Sementara tutup dandang soblok dibuat rapat, agar uap air tidak banyak keluar. Bentuknya bisa kerucut atau datar. Di bagian atas tutup diberi pegangan agar memudahkan membuka atau menutupnya. Dandang tembaga saat ini sudah sangat jarang dipakai oleh masyarakat Jawa. Namun demikian masih ada yang memilikinya, karena barang ini sangat awet. Bisa jadi masih ada masyarakat yang memiliki karena warisan dari orang tuanya atau leluhurnya. Sementara tempat lain yang bisa dijumpai antara lain museum dan pasar-pasar tradisional, khususnya pasar tradisional yang besar, seperti Pasar Beringharjo, Pasar Gedhe, Pasar Klewer, dan sebagainya.

    Pada dekade 1970-an, dandang tembaga juga banyak menghiasi pegadaian. Hal ini sangat wajar, karena dandang tembaga termasuk alat dapur yang bernilai jual tinggi. Pada masa itu, pegadaian masih menerima barang-barang gadai dengan nilai jual tinggi, seperti kain jarik dan dandang tembaga. Namun sekarang, sudah sangat jarang pegadaian menerima barang gadai berupa dandang tembaga. Masih pada era 1970-an atau sebelumnya, ada sebagian masyarakat yang masih percaya terhadap penggunaan dandang. Pada masyarakat di Yogyakarta, sesuai dengan sumber buku ini, seperti di daerah Parangtritis dan Imogiri Bantul, itu masih percaya, bagi penanak nasi yang menggunakan dandang, dan ia sampai menggulingkan dandang, maka ia harus diruwat. Namun entah sekarang, mungkin kepercayaan itu sedikit demi sedikit mulai hilang. Sebab jika tidak diruwat, ada kepercayaan, si adang nasi akan dimakan “Bethara Kala”.

    Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2

  • Bentuk pengaron seperti kuali. Bedanya, bagian bawah pengaron datar, agar mudah diletakkan di tanah atau lantai. Diameter bagian alas lebih kecil dibandingkan dengan bagian atas.

    Alat dapur yang satu ini multifungsi. Bisa untuk “ngaru” nasi, tempat air bersih, tempat cuci peralatan kotor, hingga dapat untuk wadah air saat memandikan jenazah. Nama alat dapur itu adalah pengaron. Ada sebagian masyarakat di Jawa yang menyebutnya sebagai kemaron. Ada dua macam pengaron, yakni pengaron besar dan pengaron kecil. Untuk pengaron kecil, warga Parangtritis, Kabupaten Bantul, menyebutnya dengan kabaran. Disebut pengaron besar jika diameter lingkaran bagian atas sekitar 50 cm, tingginya 27 cm, dan disebut pengaron kecil (kabaran) jika diameter lingkaran bagian atas sekitar 35 cm serta tingginya 19 cm.

    Pada umumnya bentuk pengaron seperti kuali. Bedanya, bagian bawah pengaron datar, agar mudah diletakkan di tanah atau lantai. Diameter bagian alas lebih kecil dibandingkan dengan bagian atas. Pengaron juga mirip silinder. Sementara bagian atas berdiameter lebih besar dan mempunyai bibir melingkar selebar sekitar 5 cm. Pengaron juga umumnya terbuat dari tanah liat atau gerabah. Pengaron biasa dipakai setelah dibakar, seperti peralatan dapur lain yang terbuat dari tanah liat.

    Pengaron yang terbuat dari tanah liat ini mempunyai kelemahan mudah pecah. Maka apabila telah pecah, berarti sudah tidak bisa dipakai lagi karena tidak bisa ditambal. Maka penggunaan pengaron harus ekstra hati-hati, baik saat penggunaan, perawatan, maupun saat penyimpanan. Sementara untuk penggunaan saat masih baru, agar tidak berbau tanah, bisa menerapkan langkah-langkah seperti pada alat dapur kuali, yaitu dibersihkan dengan air tajin, bekatul hingga sabut kelapa.

    Pengaron, suatu saat bisa berfungsi untuk “ngaru” nasi. Sebelum nasi setengah matang kembali “diadang” atau ditanak di dandang, maka beras yang telah ditanak awal, dituangkan ke dalam pengaron. Kemudian dituangi air mendidih hingga luber. Ditunggu sesaat hingga air meresap di beras hingga menjadi nasi setengah matang. “Ngaru” nasi biasa menggunakan pengaron karena tahan air panas, bisa memuat banyak, serta dapat menetralkan rasa nasi. Selain itu, zaman dulu belum banyak pilihan wadah, kecuali yang terbuat dari gerabah. Maka satu-satunya tempat yang “pas” untuk “ngaru” nasi adalah pengaron ini.

    Ketika belum banyak ember seperti sekarang ini, pengaron menjadi pilihan utama bagi warga untuk memandikan jenazah. Biasanya ada beberapa pengaron besar dijejer yang dipenuhi dengan air bersih. Sebelum dipakai untuk memandikan jenazah, air bersih dalam pengaron itu sudah diberi daun kelor, bunga, dan uang receh.

    Fungsi lain pengaron adalah untuk tandon air bersih, selain gentong. Ukuran pengaron lebih kecil dibandingkan dengan gentong. Selain itu, pengaron mudah dipindahkan sehingga banyak dipakai, apalagi saat masyarakat punya hajatan.

    Pengaron lebih praktis digunakan untuk tandon air sementara. Sekali lagi, belum banyak pilihan tempat air saat itu karena belum ada tempat air yang terbuat dari plastik dan sejenisnya.

    Kadang-kadang pengaron juga berfungsi untuk mencuci peralatan dapur yang kotor.

    Ketika belum banyak ember seperti sekarang ini, pengaron menjadi pilihan utama bagi warga untuk memandikan jenazah. Biasanya ada beberapa pengaron besar dijejer yang dipenuhi dengan air bersih. Sebelum dipakai untuk memandikan jenazah, air bersih dalam pengaron itu sudah diberi daun kelor, bunga, dan uang receh.

    Keberadaan pengaron sudah terekam dalam kamus Jawa “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta (1939). Pada halaman 485, dijelaskan bahwa pengaron sejenis jambangan besar. Jambangan adalah tempat air yang sering dipakai untuk bak mandi di masa lalu. Biasanya, setiap kata yang terekam dalam kamus “Baoesastra Djawa” itu, diambil dari alat-alat atau konsep yang digunakan oleh masyarakat pada zamannya. Tidak berbeda dengan istilah pengaron atau kemaron. Berarti sebelum tahun 1939, pengaron sudah menjadi alat dapur yang umum digunakan oleh kebanyakan rumah tangga kala itu.

    Sekarang alat dapur ini sudah terdesak oleh peralatan serupa yang terbuat dari plastik dan sejenisnya yang lebih awet, praktis, dan lebih ringan. Maka tidak heran, saat ini sangat sulit menemukan alat dapur pengaron di pasaran, karena sudah tidak banyak lagi yang meliriknya. Namun, di sentra pembuatan gerabah masih bisa ditemui benda ini. Beberapa museum budaya di Yogyakarta sudah menjadikannya sebagai koleksi benda kuno.

    Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2
  • Kapak lonjong (https://www.wacananusantara.org)

    Boleh dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.

    Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

    Cara Hidup

    Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

    Alat-alat Zaman Neolithikum

    Pada zaman neolithicum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.

    Pahat Segi Panjang

    Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.

    Kapak Persegi


    Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

    Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

    Kapak Lonjong

    Kapak lonjong (https://www.wacananusantara.org)

    Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

    Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.

    Kapak Bahu

    Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi ,hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.

    Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)

    Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.

    Pakaian dari kulit kayu

    Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.

    Tembikar (Periuk belanga)


    Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar.

    Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

    Sumber: Serbasejarah

  • Musik keroncong mungkin kini hanya akrab untuk orang-orang tertentu saja. Membanjirnya penyanyi dan grup band pop baik dalam maupun luar negeri membuat musik keroncong semakin tersingkir. Namun, berbeda saat Anda berada di Kampung Tugu, Cilincing Jakarta Utara. Di tempat ini musik keroncong sudah akrab di telinga mereka bahkan anak-anak sekalipun. Tak heran memang. Di Kampung Tugu inilah musik keroncong berkembang (baca: Sejarah Musik Keroncong). Keluarga Quiko yang merupakan keturunan Portugis sebagai pelestari musik Keroncong Tugu. Sebelumnya Keroncong Tugu sempat berhenti selama 30 tahun dan dihidupkan lagi tahun 1970 oleh Jacobus Quiko. Keroncong Tugu merupakan bukti akulturasi budaya Indonesia dengan budaya Portugis. Musik keroncong sendiri masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512. Para pelaut Portugis tersebut membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena bangsa Arab pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 – 1492.

    Pada waktu tawanan Portugis dan budak asal Goa (India) di Kampung Tugu dibebaskan pada tahun 1661 oleh Pemerintah Hindia Belanda (VOC), mereka diharuskan pindah agama dari Katholik menjadi Protestan, sehingga kebiasaan menyanyikan lagu Fado menjadi harus bernyanyi seperti dalam Gereja Protestan, yang pada tangga nada mayor. Kemudian tahun 1880 Musik Keroncong lahir, dan awal ini Musik Keroncong juga dipengaruhi lagu Hawai yang dalam tangga nada mayor, yang juga berkembang pesat di Indonesia bersamaan dengan Musik Keroncong.


    Keroncong Tugu sendiri sebenarnya didirikan pada tahun 1925 oleh Joseph Quiko. Awalnya bernama Orkes Pusaka Krontjong Moresco Toegoe Anno 1661 (tahun pembebasan tawanan Portugis dan budak asal India oleh pemerintah Belanda). Kemudian diteruskan oleh adik-adiknya, Jacobus dan Samuel Quiko. Tahun 1991 Krontjong Toegoe berubah menjadi Cafrinho yang berarti beramai-ramai. Namun, orang-orang lebih akrab dengan nama Keroncong Tugu. Tahun 2006 hingga sekarang dipimpin oleh Guido Quiko, putra Samuel Quiko.

    Sehari-hari Guido Quiko–merupakan keturunan Portugis keempat, berprofesi sebagai arranger dan pencipta lagu di sebuah studio rekaman. Ia juga menjabat sebagai wakil ketua Sahabat Kota Tua, kumpulan komunitas kreatif di seputar Kota Tua Jakarta. Cintanya terhadap keragaman budaya Betawi, membuat Guido Quiko mempunyai keinginan kuat untuk terus melestarikan budaya leluhur.


    Ada yang khas dari penampilan Keroncong Tugu Cafrinho dan menjadi ciri khas tersendiri. Dalam setiap penampilannya baik didalam maupun di luar negeri para pemain musiknya selalu memakai kostum celana batik, baju koko, lengkap dengan baret serta syal.

    Keroncong Tugu hingga kini tetap rutin latihan setiap hari Selasa malam. Biasanya sekitar delapan orang pemusik hadir memainkan alat musik akustik, seperti gitar, bas, biola, dan rebana. Serta okulele bernama macina dan frunga. Mereka menyanyikan berbagai lagu berbahasa Melayu, Belanda, atau Portugis. Lagu Oude Batavia, misalnya. Keroncong Tugu Cafrinho adalah satu-satunya grup musik yang tetap mempertahankan kemurnian musik khas Tugu. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh budaya musik lain yang kian berkembang di Indonesia. Padahal kini tak semua personelnya keturunan Portugis.

    Informasi lebih lanjut hubungi

    Keroncong Tugu Cafrinho 
    Jl. Raya Tugu No.28, RT 003 / RW 014, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara 14260
    Telp.: +62 21 4412282, +62 817 497 4414
  • Tari Ronggeng Gunung Ciamis (https://www.indonesia.travel)

    Ciamis adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama “Ronggeng Gunung”. Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.

    Asal Usul

    Ada beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul, Pangandaran dan Cijulang) ini. Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.

    Versi kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.

    Versi ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja (www.korantempo.com). Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.

    Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.

    Ka mana boboko suling
    Teu kadeuleu-deuleu deui
    Ka mana kabogoh kuring
    Teu Kadeulu datang deui

    Singkat cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama.

    Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan. Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

    Sebagai catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.

    Pemain, Peralatan, dan Pergelaran

    Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang. Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.

    Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh.

    Perkembangan

    Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.

    Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki.

    Sumber: Uun-halimah
  • Ludruk Cak Kartolo (https://hedgy.com)

    Apakah anda tahu, dari mana asal kata Ludruk itu. Ternyata, sampai sekarang belum ada kesimpulan yang pasti.

    Pernah ada diskusi tentang sejarah Ludruk yang diselenggarakan para seniman Surabaya di tahun 2002. Kesimpulan diskusi itupun tidak pernah tegas mengatakan asal-usul Ludruk itu. Pokoknya, Ludruk adalah seni budaya yang sudah berkembang dan membudaya di Surabaya dan Jawa Timur.

    “Lho, siapa bilang tidak ada kata asal dari Ludruk!”, ujar Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya. “Ludruk itu berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk menghentak lantai seperti penari Ngremo. Ya, itulah Ludruk, kata Cak Markaban dengan serius, tetapi yang mendengarkan terpingkal-pingkal.

    “Oh, oh, bukan demikian”, sahut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan yang hadir pada diskusi itu. “Ludruk itu asalnya molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai – gedrak-gedruk”, jelasnya.

    Ludruk Irama Budaya (https://www.gambaraphotography.com)

    Oke-oke, kalau begitu hampir sama, ujar Bawong dari DKS (Dewan Kesenian Surabaya) yang membuat kesimpulan dengan suara agak lantang.

    Ludruk itu, kata Eddy Samson, yang dikutip Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, halaman 100, berasal dari bahasa Belanda.

    Dulu, tatkala menonton drama tradisional ini banyak anak-anak Belanda muda Indo – tentunya mereka itu teman-teman bapak atau kakek dari Eddy Samson yang juga Indo – yang senang menonton. Mereka menyukainya. Kepada teman-teman yang akan diajak nonton dikatakan: “Mari kita leuk en druk. Kalau bahasa gaul sekarang: mari kita tida ferdoeli, yang penting enjoy, happy-happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa ini”, begitu kira-kira maksudnya. Atau bahasa gaul anak musa kita menikmati dugem (dunia yang gemerlapan) atau (dunia gembira)..

    Nah, ini dia, kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini, yaitu Ludruk. Ah, wallauhualam bisssawaaab!

    Yang jelas, dalam praktiknya, ludruk adalah membuat orang tertawa, senang dan kalaupun tersindir tidak boleh marah. Hati boleh panas, kepala tetap dingin. Tidak seperti Nippon yang menyiksa Cak Durasim.

    Sekilas Kesenian Ludruk

    Pada tahun 1994, group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di desa desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu : Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa.

    Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group.

    Pemain ludruk ini wanita atau pria? (https://www.fotografer.net)

    Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat jawa timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanjuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

    Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

    Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata Wong Lorek.. Akibat variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok..

    Periode Lerok Besud (1920 - 1930)

    Lerok (https://jawatimuran.wordpress.com)

    Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton.Dalam perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.

    Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.

    Periode Lerok dan Ludruk (1930 - 1945)

    Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.

    Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.

    Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu :

    "Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro.....cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang"

    Periode Ludruk Kemerdekaan (1945 - 1965)

    Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang terkenal adalah Marhaen. milik .Partai Komunis Indonesia.. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.

    Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.

    Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara sampai 16 kali , hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong ke kiri.. sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.

    Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 - Saat ini)

    Peristiwa G30S PKI benar benar memperak perandakan grup grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur.

    Peleburan ludruk dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970.

    1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit I
    2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
    3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unitIII, dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang
    4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV
    5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V

    Diberbagai daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975.Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak. Setiap orang Jawa timur khususnya Surabaya, pasti mengenal Markeso, Kartolo dkk. Coba perhatian bagaimana mereka bermain Ludruk. Sampai saat ini hanya beberapa kalangan saja yang mengetahui. Binatang apakah ludruk itu? .. Ibarat mobil, semua tergantung sopirnya, kalau sopirnya lurus ya lurus jalannya, tapi kalau sopirnya menyeleweng, ngantuk dsb, kita dapat melihat dan menduga keadaaan yang akan terjadi.

    Sumber: Budayanegrikita

  • Nama Raden Patah terdapat dalam Babab Tanah Jawi yang disusun pada masa pemerintahan Paku Buwono I yang menjadi Susuhunan Mataram hingga 1719 Masehi. Menurut Babab Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir dari negeri Campa. Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) ini dinikahi oleh Brawijaya ketika Brawijaya masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja Majapahit. Sang permaisuri Raja, yaitu Ratu Dwarawati, merasa cemburu terhadap putri Campa itu. Untuk menghindari kemungkinan buruk, Raja Brawijaya memberikan selir Campanya itu kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Campa itu dinikahi Arya Damar, yang kemudian melahirkan Raden Kusen.

    Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam Babab Tanah Jawi disebut sebagai Senopati Jimbun. Setelah menjabat sebagai raja bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ada pun menurut Serat Pranitiradya, ia bergelar Sultan Syah Alam Akbar.

    Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong (kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho), juga menuturkan bahwa nama Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (ejaan Cina untuk [Bhre] Kertabumi) dari selir Cina. Nama Bhre Kertabumi sendiri tercantum dalam Pararaton sebagai raja Majapahit. Kemudian selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan dengan Swan Liong itu lahir seorang anak bernama Kin San. Kronik Sam Po Kong mengabarkan bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 M, kemungkinan besar sebelum Bhre Kertabumi menjabat sebagai raja Majapahit, ia memerintah antara 1474-1478.

    Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa pendiri Kesultanan Demak benama Cu Cu, putra seorang mantan perdana menteri Cina yang bermigrasi ke Jawa. Kakeknya bernama Cek Ko Po. Dikisahkan, Cu Cu mengabdi kepada Majapahit dan berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah Bupati Palembang. Di sini terdapat pemberitaan yang berbeda antara Sajarah Banten dengan Babab Tanah Jawi. Babab Tanah Jawi memberitakan bahwa Arya Dilah merupakan nama lain Arya Damar, ayah tiri dan ayah angkat Raden Patah. Menurut Sajarah Banten, berkat jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan Bupati Demak dengan gelar Arya Sumangsang. Sedangkan menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, pendiri Demak adalah Pate Rodin Senior, cucu seorang warga di Gresik.

    Ada pun keberadaan “putri Campa”, ibu Raden Patah dan Raden Kusen, itu diberitakan juga oleh pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah dari Cirebon itu, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan saudagar sekaligus ulama yang bergelar Syekh Bantong.

    Kendati banyak versi yang membicarakan asal usul Raden Patah, namun semua naskah dan kronik itu sepakat bahwa pendiri Kesultanan Demak itu bersangkut paut dengan empat nama: Majapahit, Palembang, Cina, dan Gresik.

    Menurut Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda, Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M dengan nama Pangeran Jimbun. Selama 20 tahun, Jimbun hidup di kediaman adipati Majapahit di Palembang, Arya Damar. Setelah beranjak dewasa, Jimbun kembali ke Majapahit. Oleh orangtuanya, ia kemudian dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ngampel (Ampel) Denta di Surabaya untuk belajar Islam. Jimbun mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya: Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).

    Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menyebarkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Arya Dilah (Ki Dilah), disertai oleh 200 pasukannya.

    Menurut Lombard (2008, 44), Raden Patah merupakan pendiri kantor dagang di Demak, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang, di sekat Gunung Muria. Ia berasal dari Cina, mula-mula menetap di Gresik, lalu pindah ke Demak. Menurut Tome Pires yang singgah di pelabuhan Demak, Demak memiliki hingga 40 jung dan telah meluaskan kewibawaannya sampai ke Palembang, Jambi, “pulau-pulau Menamby dan sejumlah besar pulau lain di depan Tanjung Pura”, yaitu Bangka (di mana terdapat Pegunungan Menumbing) dan Belitung. Saat itu di Demak terdapat tak kurang dari “delapan hingga sepuluh ribu rumah” dan tanah sekelilingnya menghasillkan beras berlimpah-limpah, yang sebagian untuk diekspor ke Malaka. Menurut penjelajah Portugis itu, Demak (dan Rembang) terkenal dengan galangan-galangan kapalnya. Kapal-kapal dibuat dari kayu jati yang banyak tumbuh di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Demak juga dikelilingi beberapa kota-pelabuhan tempat terjadi perniagaan besar: Juwana, Pati, Rembang, Jepara, dan Semarang (yang ketika itu penduduknya berkisar sekitar 3.000 kepala). “Pedagang yang punya uang datang ke sana untuk dibuatkan jung,” begitu tulis Pires.

    Menyerang Majapahit

    Peta Kerajaan Majapahit (https://www.kaskus.co.id)

    Babab Tanah Jawi berkisah, Raden Patah (Pangeran Jimbun) menampik untuk jadi pengganti Arya Damar sebagai bupati Palembang. Ia, ditemani Raden Kusen, lalu kabur dari Palembang menuju Jawa. Begitu tiba di Jawa, kedua saudara berbeda ayah itu berguru pada Sunan Ngampel di dekat Surabaya. Raden Patah lalu pindah ke arah barat di sekitar Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagahwangi guna mendirikan sebuah pesantren. Sementara Raden Kusen mengabdi di keraton Majapahit.

    Aktivitas Pesantren Glagahwangi hari ke hari semakin berkembang. Raja Brawijaya melihat perkembangan pesanten itu sebagai sebuah ancaman, kalau-kalau Raden Patah berniat berontak. Untuk itu, Brawijaya mengutus Raden Kusen, yang saat itu sudah menjabat sebagai Adipati Terung, untuk memanggil Raden Patah segera menghadap Brawijaya. Alkisah, Raden Patah pun menghadap Brawijaya. Ia akhirnya diakui sebagai putranya oleh Brawijaya. Raden Patah kemudian diangkat menjadi bupati Demak, nama baru untuk Glagahwangi, sedangkan nama ibukota Demak adalah Bintoro.

    Ada pun kronik Sam Po Kong menguraikan bahwa pada 1475 Jin Bun pindah ke Demak dari Surabaya. Dua tahun kemudian, 1477, Jin Bun berhasil menaklukkan Semarang yang dibuat sebagai bawahan Demak. Penaklukan Semarang membuat Kung-ta-bu-mi resah. Akan tetapi, atas bujukan Bong Swi Hoo (diidentikkan dengan tokoh Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati Bing-to-lo (ejaan Cina untuk Bintoro).

    Selama Brawijaya memerintah Majapahit, Raden Patah tak pernah menyerang Majapahit. Ialah Sunan Ngampel yang menasehati agar Raden Patah tetap menghormati ayahnya, Raja Majapahit itu walau berbeda kepercayaan. Babab Tanah Jawi dan juga Serat Kanda mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ngampel, barulah Raden Patah berani menyerang Majapahit atas desakan Sunan Bonang. Sebelum Majapahit, Jimbun telah menguasai Semarang. Dalam penyerangan ke Majapahit, Brawijaya diberitakan moksa. Untuk Dikisahkan, yang menduduki takhta Majapahit untuk sementara adalah Sunan Giri (Raden Paku). Ia menduduki takhta selama 40 hari. Hal ini rupanya sebagai legitimasi kekuatan Islam sebagai “agama baru” atas agama Siwa-Buddha yang dianut Majapahit. Di sini perlu diperhatikan perihal moksanya Brawijaya begitu diserang anaknya sendiri, sama halnya dengan legenda Prabu Siliwangi yang juga ngahiyang (menghilang) begitu dikejar oleh anaknya, Kian Santang, karena menolak masuk Islam dalam legenda Sunda. Moksanya Brawijaya (juga ngahiyang-nya Siliwangi) memperlihatkan bahwa walau bagaimana pun kekuatan orangtua (baca: leluhur) tak bisa semena-mena dikalahkan oleh kekuatan agama baru. Ia digambarkan tak tersentuh oleh kenyataan bendawi, luput dari segala hukum fisika. Sebelum menyerang Majapahit, terlebih dulu Jimbun menyerang Semarang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa. Setelah berhasil menguasai Semarang, Jimbun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang, diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang. Gan Si Cang merupakan anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

    Raja Kung Ta Bu Mi, ayah Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.

    Namun, sesampai di Majapahit Jin Bun tak mau memberi sembah pada ayahnya. Perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi juga diberitakan oleh kronik Sam Po Kong, yang terjadi pada 1478. Perang tersebut berlangsung setelah kematian Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel). Akan tetapi, begitu Jin Bun menggasak ibu kota Majapahit, Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap dan dipindahkan ke Demak dengan terhormat. Dengan begitu, Majapahit pun menjadi wilayah bawahan Demak; yang menjadi bupati Majapahit sendiri adalah Nyoo Lay Wa, seorang Cina Muslim. Di sini, berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi alias Kertabumi membuat kita berpendapat bahwa kronik Cina itu lebih masuk akal dibandingkan berita Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda. Penulis kronik itu merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkapnya raja itu. Brawijaya terlalu agung untuk dikatakan tertangkap, begitu menurut alam pikiran penulis Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda.

    Pada 1485, Nyoo Lay Wa mati setelah terjadi pemberontakan kaum pribumi. Untuk itu, Jin Bun lalu mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru, yakni Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana (yang tertulis dalam Pararaton) alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan Prasasti Jiyu (tahun 1486) dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan Prasasti Petak yang memuat berita mengenai perang Kadiri melawan Majapahit. Berita prasasti itu menimbulkan penafsiran kuat bahwa Majapahit tidak runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1478, melainkan akibat serangan keluarga Girindrawardhana. Dari Prasasti itu diketahui, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma dan cucu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (Sang Munggwing Jinggan). Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya atau Bhre Wijaya) memerintah di Daha, ibukota Kediri, yang sebelumnya terletak di Keling, utara kota Majapahit.

    Baik Babab Tanah Jawi maupun Serat Kanda tidak lagi mengisahkan adanya perang Majapahit melawan Demak sesudah 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan juga kronik Sam Po Kong, perang Demak-Majapahit terjadi lebih dari satu kali. Kronik Cina itu menguraikan, pada 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing (Portugis) di Moa-lok-sa (Malaka) sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Akibatnya, Jin Bun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat raja itu adalah suami adiknya istrinya adalah adik Jin Bun.

    Catatan Portugis pun memerikan peperangan itu. Diberitakan, pasukan Majapahit dipimpin oleh seorang bupati Muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Majapahit pun menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan nama baru Kiai Mutalim Jagalpati.

    Sepeninggal Raden Patah alias Pangeran Jimbun tahun 1518, Demak dipimpin Pangeran Sabrang Lor (versi Babab Tanah Jawi) hingga 1521. Selanjutnya Pangeran Sabrang Lor diganti oleh Sultan Trenggana. Menurut kronik Sam Po Kong, pergantian takhta itu dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis di Malaka. Perang Majapahit-Demak meletus kembali tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.

    Perang Demak-Majapahit yang terakhir terjadi pada 1527. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, yang menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen, Adipati Terung, ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus dan adik pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Trenggana), bernama Toh A Bo.

    Dari berita di atas diketahui setidaknya ada dua tokoh Muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah adik tiri Raden Patah, dengan kata lain, merupakan paman Sultan Trenggana Raja Demak saat itu.

    Menurut kronik Sam Po Kong, Pa-bu-ta-la meninggal dunia pada 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana Daha. Peristiwa kekalahannya menandai berakhirnya Kerajaan Kediri. Para pengikutnya, yang menolak kekuasaan Demak, memilih pindah ke Bali. Menurut babad dan serat, tiga hari setelah penyerbuan ke Majapahit, Raden Patah berangkat ke Ampel. Yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Ada pun Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Raden Patah. Sementara itu, Sebagian pasukan Demak dan para sunan ikut ke Ampelgading. Ada pun Putri Cempa, ibu Raden Patah, diungsikan ke Bonang. Di Ampel ternyata Sunan Ampel sudah wafat. Yang ada hanya istrinya, Nyai Ageng, yang asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah Sunan Ampel wafat, Nyai Agenglah yang menjadi sesepuh Ampel.

    Sesampai di Ampel, Raden Patah menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Para sunan dan bupati bergantian menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Raden Patah berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu Majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda, Brawijaya, dan kematian Patih Majapahit. Ia berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh Tanah Jawa dengan gelar Senapati Jimbun, lalu minta restu, agar langgeng bertakhta dan kelak keturunannya tak ada ada yang memotong takhtanya.

    Nyai Ageng memarahi Jin Bun karena berdosa telah menganiaya ayahnya sendiri yang enggan masuk Islam. Karena walau bagaimana pun, Brawijaya adalah ayah Pangeran Jin Bun sendiri, yang patut dihormati meski berbeda kepercayaan. Juga Nyai Ageng memarahi Jin Bun karena telah merusak Majapahit. Nenek itu kecewa mengetahui Jin Bun berhasil dipengaruhi oleh para sunan dan bupati agar menyerang Majapahit. Ia menyuruh agar Jin Bun mencari ayahandanya yang hilang. Setelah itu Jin Bun pamit dari Ampel, menuju Sunan Bonang untuk memberi tahu Sunan itu tentang kemarahan Nyai Ageng Ampel.

    Begitu diberi tahu, Sunan Bonang dalam hati merasa bersalah lalu teringat akan kebaikan Prabu Brawijaya. Namun Sunan Bonang tetap menyalahkan Brawijaya dan Patih Majapahit yang tak mau masuk Islam. Ia juga memerintahkan Jin Bun untuk tidak memikirkan perintah Nyai Ageng karena menilainya hanya sebagai pelampiasan atas kemarahan “khas perempuan”. Sunan itu memberikan pilihan, bila Jin Bun tetap bersiteguh menuruti Nyai Ageng, ia akan kembali saja ke Arab. Akhirnya, Jin Bun memilih untuk terus melanjutkan penyerbuan ke Majapahit. Sunan Bonang menyuruh Jin Bun memberi pilihan pada ayahnya, Brawijaya: jika masih ingin jadi raja, maka janganlah di Tanah Jawa tetapi harus di negeri lain di luar Jawa. Bahkan Sunan Giri menyuruh Brawijaya juga Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging ditenung saja agar tak mengganggu proses “pengislaman” di Jawa.

    Sunan Kalijaga-lah yang ditugasi Raden Patah untuk mencari Brawijaya. Brawijaya sendiri dalam pelariannya ditemani dua pamong setianya, Nayagenggong dan Sabdapalon. Konon, menurut tradisi tutur yang berkembang di masyarakat, ketika sampai di Blambangan, Brawijaya menghilang dekat sebuah mata air.

    Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi

    Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.

    Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya. Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak. Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.

    Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.

    Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.

    Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta. Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.

    Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Slamet Muljana yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemerintah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.

    Pemerintahan Raden Patah di Demak


    Berdasarkan Babab Tanah Jawi, setelah menjabat sebagai raja Demak yang pertama, Raden Patah bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ada pun menurut Serat Pranitiradya, ia bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Nama Patah sendiri berasal dari kata Arab, al-Fatah, artinya “Sang Pembuka” atau “Sang Penakluk” sebagai gambaran bahwa ia adalah pembuka kerajaan bercorak Islam di Jawa. Pemakaian gelar sultan belum menjadi tradisi pada masa Raden Patah, karena, menurut Lombard, pemakaian gelar sultan untuk raja-raja Jawa baru dimulai pada tahun 1524, yakni pada masa Trenggana menjadi penguasa Demak (sementara penguasa Malaka telah memakai gelar itu kira-kira sejak 1456).

    Replika bangunan Kasultanan Demak ada di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (https://infoastronot.blogspot.com)

    Pada 1479 Raden Patah meresmikan Masjid Agung Bintoro di Demak sebagai pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian kitab Salokantara sebagai pegangan undang-undang kerajaan (ada pula yang beranggapan bahwa Salokantara dibuat oleh Trenggana, anak Raden Patah). Kitab ini kini sudah raib tak jelas rimbanya. Sikap Raden Patah kepada umat beragam lain pun sangat toleran. Misalnya, kuil Sam Po Kong tetap berfungsi sebagai kelenteng warga Cina. Suma Oriental memberitakan bahwa pada 1507 Pate Rodin Sr. alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru saja diperbaiki.

    Masjid Agung Demak (https://perkasamandiri2.wordpress.com)

    Raden Patah juga tidak memerangi umat lain yang juga mayoritas, Hindu dan Buddha, sebagaimana wasiat Sunan Ngampel, gurunya. Walau sebelumnya, seperti yang tertera dalam babad dan serat, memberitakan ia menyerang Majapahit, hal tersebut lebih dilatarbelakangi persaingan politik dalam “menguasai” Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda memberitakan bahwa pihak Majapahit lah yang lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.

    Patiunus menyerang Portugis di Malaka (https://saptadi.net)

    Suma Oriental mengisahkan bahwa pada 1512, menantu Pate Raden, yakni Pate Unus Bupati Jepara, menyerang benteng Portugis di Malaka. Tokoh Pate Unus ini identik dengan tokoh Yat Sun dalam kronik Cina, yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya hanyalah bahwa Pate Unus merupakan menantu Pate Rodin (menurut Pires), sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun (menurut kronik Cina). Baik sumber Portugis maupun sumber Cina sama-sama menyebutkan bahwa armada Demak hancur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.

    Wafatnya “Sang Pembuka”

    Raden Patah memiliki tiga istri: Pertama adalah putri Sunan Ngampel, yang menjadi permaisuri, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana, kronik Cina menyebutkan dua orang putra Jin Bun, yaitu Yat Sun (Pate Unus/Sabrang Lor) dan Tung-ka-lo (Trenggana) tetapi Suma Oriental lebih condong menganggap Sultan Trenggana merupakan kakak ipar Pangeran Sabrang Lor. Istri yang kedua berasal dari Randu Sanga, yang melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan pada masa pemerintahan Sultan Trenggana berhasil menaklukkan Sumenep di Madura. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, yang melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa.

    Kronik Sam Po Kong memberitakan bahwa Raden Patah (Jin Bun, Panembahan Jimbun, dan atau Senapati Jimbun) wafat pada 1518 dalam usia 63 tahun. Ia lalu digantikan oleh Yat Sun, yang dalam Babab Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.

    Sumber: Wacananusantara

Comments

The Visitors says