PESONA WISATA INDONESIA

welcome to our blog



in a way, articles can also be described as a type of adjectives as they also tell us something about the nouns, like adjectives.

Articles are found in many Indo-European, Semitic, and Polynesian languages but formally are absent from some large languages of the world, such as Indonesian, Japanese, Hindi and Russian.

Posts

Comments

The Team

Blog Journalist

Connect With Us

Join To Connect With Us

Portfolio

    Posted by: guru ppkn cerdas Posted date: April 02, 2014 / comment : 0


    Makan Patita, kata ini pasti tidak asing di telinga orang Maluku, karena pada hari-hari tertentu yang di anggap penting orang Maluku kerap menggelar budaya Makan Patita ini. Esensinya Makan Patita sendiri merupakan sebuah acara makan bersama dalam lingkup kekeluargaan yang hangat dengan menyuguhkan berbagai makanan dan masakan tradisional khas daerah mereka. Siapa pun yang hadir dalam acara Makan Patita itu boleh mencicipi segala makanan yang tersedia di situ dengan sesuka hatinya. Tradisi makan patita hingga saat ini masih terus dipelihara di kota dan di desa-desa di Provinsi Maluku. Desa Oma yang terletak di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku juga masih kuat memegang tradisi budaya patita.

    Secara garis besar tradisi Makan Patita di Provinsi Maluku digelar dua kali dalam setahun yaitu makan patita negeri yang dilakukan setiap tanggal 2 Januari dan makan patita yang dilaksanakan setiap bulan Desember. Tapi, disamping tradisi rutin tiap yahun itu, di beberapa daerah di kota Ambon seperti di Desa Oma memiliki satu lagi tradisi makan patita yakni makan patita adat yang di gelar dan dilaksanakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Bisa setahun sekali, lima tahun sekali, bahkan bisa juga sampai 12 tahun sekali. Makan patita adat itu dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh empat aliran keturunan yang dalam bahasa adat Maluku disebut soa, yaitu Soa Pari, Soa Latuei, Soa Tuni dan Soa Raja. Masing-masing soa menentukan sendiri waktu pelaksanaan makan patita adat, dan penentuan waktu biasanya terjadi saat acara berbalas pantun di meja patita adat.

    Setiap soa yang ada di Desa Oma merupakan kumpulan marga. Soa Pari merupakan kumpulan marga Kaihatu, Sekewael dan Ririasa. Soa Latuei merupakan kumpulan marga Uneputty, Patiata, Tohatta, Lesirollo dan Manusiwa. Soa Tuni merupakan kumpulan marga Haumahu, Hukom dan Wattimena, sedangkan Soa Raja terdiri dari marga Pattinama, Suripatty dan Patty. Ada juga dua marga dari Desa Oma yaitu Pattikawa dan Hetharia yang tidak mengikatkan diri ke dalam empat soa tersebut, namun mereka juga melakukan kebiasaan seperti empat soa yang lain.

    Tradisi Makan Patita Adat di Desa Oma sendiri terbagi menjadi dua yaitu makan patita Marei yaitu yaitu om-om memberi makan anak-anak dalam Soa Latuei yang dikenal dengan nama Marei. Om-om yang dimaksudkan adalah orang tua. Dan yang kedua adalah kebalikan dari itu yakni anak-anak yang memberi makan kepada orang tua. Jadi, pada makan patita adat Marei ini seluruh makanan hingga pelaksanaan acaranya ditanggung oleh para orang tua. Nanti suatu saat anak-anak juga boleh menggelar makan patita adat serupa untuk menjamu orang tua mereka. Tidak tanggung-tanggung, mereka menggelar makan patita adat di atas meja yang panjangnya mencapai 200 meter dan dipenuhi ribuan anak adat Soa Latuei. Makan patita adat ini merupakan yang terbesar dalam sejarah adat di Desa Oma.

    Sebelum sampai ke puncak pelaksanaan makan patita adat, ada prosesi adat yang dilakukan oleh warga Soa Latuei di Baileo Kotayasa. Malam sebelumnya telah dilakukan serangkaian acara persiapan yang merupakan kewajiban dari lima orang yang ditunjuk sebagai Kepala Soa yang dinamakan Bapak Lima-Lima. Dalam prosesi itu, mereka membuat pergumulan dan doa yang menjadi sebuah persiapan. Semuanya berlangsung di dalam Baileo Kotayasa. Dalam prosesi persiapan tersebut ada simbol-simbol yang disertakan seperti tempat sirih sebagai simbol pengikat hubungan kekeluargaan dan sebotol minuman keras sopi sebagai simbol pembangkit semangat.

    Setelah prosesi malam itu, keesokan harinya seluruh anak adat Soa Latuei sejak pagi sudah mulai melakukan persiapan. Di tiap rumah warga Soa Latuei terlihat kesibukan memasak. Di pusat desa pun telah digelar meja sepanjang 200 meter dan ditutupi kain putih yang melambangkan kesucian. Kendati sempat diguyur hujan namun hal itu tidak menyurutkan semangat anak-anak Soa Latuei untuk menyiapkan makan patita adat.

    Tepat pukul 15.00 WIT para orang tua dari Soa Latuei yang mengenakan busana khas kebaya merah berkumpul di dalam Baileo. Sejumlah anak muda berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala merah menyuguhkan tarian cakalele. Sambil menghunus parang dan salawaku mereka berteriak penuh semangat seperti akan ke medan perang. Usai menari, para orang tua kemudian pergi menuju ke mata rumah tua anak-anak Marei yakni mata rumah Huapea dengan iringan tifa untuk meminta anak-anak Marei datang ke lokasi makan patita adat. Iring-iringan warga Soa Latuei yang diiiringi tifa serta teriakan para penari cakalele juga menarik perhatian warga Desa Oma yang bukan berasal dari Soa Latuei.

    Di mata rumah Huapea, setelah menjemput anak-anak Marei maka para orang tua pun kembali bersama-sama ke Baileo Kotayasa guna melakukan doa bersama, lalu berjalan secara teratur menuju meja makan yang terletak di pusat Desa Oma. Semua anak adat Soa Latuei mulai dari orang tua hingga balita pun mengenakan busana adat soa Latuei. Di atas meja Makan telah tersedia berbagai macam makanan yang disesuaikan dengan kebiasaan turunan Soa Latuei yang rata-rata berprofesi sebagai pemburu.

    Di kepala meja terdapat lima kepala babi yang kemudian dibagikan kepada lima marga anggota Soa Latuei. Makanan yang dihidangkan di antaranya nasi kuning dan nasi kelapa yang diatur rapih pada setiap piring. Ada lauk pauknya seperti daging, ikan dan sayur. Terdapat pula kue-kue khas Desa Oma. Akhirnya melakukan doa bersama, para Marei pun mulai mencicipi makanan yang diberikan om-om mereka. Setelah selesai makan bersama maka artinya selesailah rangkaian adat makan Patita ini.

    Sumber: Arsipbudayanusantara

    Tagged with:

    Next
    Newer Post
    Previous
    Older Post

    No comments:

    Leave a Reply

Comments

The Visitors says