PESONA WISATA INDONESIA

welcome to our blog



in a way, articles can also be described as a type of adjectives as they also tell us something about the nouns, like adjectives.

Articles are found in many Indo-European, Semitic, and Polynesian languages but formally are absent from some large languages of the world, such as Indonesian, Japanese, Hindi and Russian.

Posts

Comments

The Team

Blog Journalist

Connect With Us

Join To Connect With Us

Portfolio

    Posted by: guru ppkn cerdas Posted date: September 01, 2013 / comment : 0

    Kain Tenun Nusa Tenggara Timur (NTT)

    Wilayah di bagian timur negara kita ini menyimpan pesona tersendiri. Suku-suku bangsa yang tinggal di sana masing-masing memiliki ke-khasan adat budaya. Tentang kain, misalnya, kain tenun Sumba adalah salah satunya. Dalam berbagai upacara keagamaan, kain untuk pria yang disebut Hinggi dan sarung Lau Pahikung untuk wanita, memegang peranan penting sebagai sarana tukar menukar dalam upacara perkawinan, penguburan, atau acara adat lainnya.


    Cara pemakaian kain ini pun berlainan antara pria dan wanita. Hinggi dipakai dengan cara diikat sementara sarung untuk wanita tidak diikat. Teknik pembuatan kain Hinggi tergolong paling tua sepanjang sejarah kain di Nusantara. Cara pembuatan Hinggi pun menarik. Dengan mengikat benang lungsi (posisi memanjang) dimaksudkan untuk memperoleh desain gambar ketika benang diberi pewarna. Setelah dicelup dengan warna dan dikeringkan, proses diteruskan dengan membuka kalita (tali gewang) pada pola yang diharapkan akan ditimpa warna berikutnya. Dua warna pada sebuah kain dengan motif tertentu dibentuk dengan cara mengubah posisi bagian yang diikat.

    Untuk warna pertama biasanya biru indigo, dilanjutkan dengan merah kombu. Setelah ikatan dibuka, motifnya akan tampak. Karena larutan pewarna meresap sampai pinggir benang yang terikat, maka motif yang terjadi nanti akan bergaris pinggir membaur. Inilah ciri khas motif ikat. Adapun Lau (sarung) Pahikung biasanya memiliki warna dasar dan motif yang disulamkan pada bagian bawah sarung. Proses pembuatan dengan menggunakan lidi untuk membantu menata benang dan motif.


    Selain kain Sumba Timur, di NTT juga dikenal motif-motif suku lain seperti Tenun Amarasi dari Timor. Corak tenunan menunjuk pada status sosial alam fikiran serta kepercayaan yang dianut. Sedangkan tenun Sikka umumnya tampil dalam warna gelap seperti hitam atau biru tua dengan ragi yang lebih cerah berwarna putih, kuning atau merah. Kain sarung wanita di Sikka disebut dengan nama Utan Lewak, biasanya dihiasi dengan ragam-ragam flora, fauna dalam lajur-lajur bergaris. Secara harafiah Utan Lewak berarti kain tiga lembar, berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan antara warna-warna merah, cokelat, putih, biru dan kuning secara melintang. Wanita Sikka mengenakan Utan dengan menyampirkan sebagian pinggir kain di atas bahu dengan melintangkan tangan kanan (atau kiri sesuai pembawaan masing-masing) di bawah dada seperti hendak menjepit kain. Perlambang warna dan cara-cara menyandang utan berlaku pula pada kaum pria Sikka.

    Meski sarat dengan unsur religiusitas, melangkah ke era modernisasi, membuat pakaian adat ini berkembang sebagai produk seni. Pemakaiannya pun meluas. Para desainer juga banyak yang melihat kekayaan corak dan warna kain NTT ini dan kemudian mendayagunakannya untuk busana masa kini dengan menyesuaikan penggunaan benang dan pengayaan warna. Stephanus Hamy, Denny Wirawan, Agnes Budisurya, Taruna Kusmayadi, misalnya, adalah desainer yang ikut memberi ‘warna’ penggunaaan kain NTT sehingga muncul dipanggung-panggung peragaan busana memperkaya busana dan kain Nusantara kita. Busana: Stephanus Hamy


    Sumber: Fashionpromagazine

    Tagged with:

    Next
    Newer Post
    Previous
    Older Post

    No comments:

    Leave a Reply

Comments

The Visitors says